Analisis Cerpen 'Gembok' kompas
Analisis Cerpen "Gembok"
oleh
Rahmad Darmajat J. Samudro
Gembok
Cerpen
Desi Puspitasari (Media Indonesia, 1 Februari 2015)
(Foto oleh Henk Mohabier dari Pexels) |
“FRAU Wiechert?”
“Ja.”
Wiechert
terjaga karena suara berisik. Suara langkah kaki tergesa menaiki tangga. Pintu
dibuka, pertanyaan-pertanyaan, tetangga sebelah banyak bicara dengan setengah
menangis. Perkataannya tidak jelas sehingga polisi mengulang jawaban untuk
memastikan kebenaran. Wiechert menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih
sisa kopi semalam. Ia memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik
dengan sehelai kertas berisi separuh tulisan teronggok diam. Semalam otaknya
mampat dan punggungnya yang terlalu letih butuh istirahat.
Pintunya
diketuk. Hanya mengenakan pakaian dalam putih dan jubah melorot di bagian bahu,
Wiechert membuka pintu. Tak jauh dari pemilik gedung yang berdiri gugup
menyapa, beberapa polisi keluar-masuk tempat tinggal tetangga sebelah. Mereka
akhirnya berpesan; bila menemukan perkembangan informasi atau bahkan pelaku, Otto
Baumer akan segera diberi tahu.
“Segera
betulkan pintumu. Kau diperkenankan mengganti kunci baru dan menambah gembok.”
Otto Baumer,
tetangga sebelah, mengucapkan terima kasih. Saat kembali masuk, ia berkeluh
kesah dengan keras; bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja
dibobol maling.
“Pencurian,”
kata pemilik gedung mubazir. Sudah jelas kejadiannya begitu masih dikatakan
lagi.
”Ja.”
“Pada pukul
lima pagi. Nekat sekali.”
“Ja.” Wiechert
baru saja merebahkan tubuh saat itu. Tak mendengar apa-apa.
“Herr
Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti.
Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak, keadaan bagian
dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari terbuka. Pakaian
berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga hilang.”
Wiechert
mendengarkan tanpa minat. Tidak ada barang berharga di dalam ruangannya kecuali
mesin ketik dan setumpuk naskah setengah jadi—bila maling kelas teri mengerti
literasi.
“Polisi curiga pelakunya
orang dalam. Bagaimana ia bisa hafal kebiasaan Herr Baumer menyimpan kunci?
Bagaimana bisa ia tahu sepagi itu Herr Baumer pergi keluar?”
“Aku tidak
tahu.”
“Herr Baumer
juga tak tahu. Polisi tidak tahu. Aku juga tidak. Peristiwa ini membuat keadaan
menjadi rawan.”
“Ja.”
“Puluhan tahun
menyewakan apartemen, ini yang pertama.”
“Ach so.”
“Sebaiknya
tidak menyimpan kunci di bawah keset di depan pintu.”
Wiechert
melongok ke bawah. Tidak ada keset. Menyadari kesalahannya, pemilik gedung
buru-buru mengganti. “Hanya pengandaian. Atau di bagian bawah pot tanaman.”
Wiechert
menoleh. Pot tanaman mungil yang diletakkan di sisi kiri pintu Otto Baumer
terguling.
“Sebaiknya kau
memasang gembok tambahan.”
“Ja.“
Pemilik gedung
pamit hendak memberi tahu penghuni lain.
Wiechert
mengamati bagian dalam pintu rumahnya. Tanpa lubang intip. Sudah terdapat
gerendel. Selalu dikait saat hendak tidur. Gembok? Gembok tambahan adalah ide
bagus meski hanya sedikit barang berharga. Wiechert hanya tidak ingin saat ia
pergi bagian dalam rumahnya diobrak-abrik maling. Dengan jubah yang sudah
dibetulkan letak bahunya, tali di pinggang yang diikat begitu saja, Wiechert
pergi ke toko kelontong 24 jam.
“Jangan
menyimpan kunci di—” Perempuan itu menirukan gaya bicara pemilik gedung sambil
turun tangga. “Aku selalu menyimpan kunci dalam saku.”
Di toko
kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan sebungkus rokok.
Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan minum susu sendirian. Butuh beberapa
menit menunggu sarapannya bereaksi dan beberapa kepul rokok untuk menghangatkan
tubuh. Dari bayangan kaca perempuan itu memperhatikan rambutnya yang hitam
pendek berantakan, matanya berkantung, dan meski sudah ditutupi jubah, bahu
kurusnya masih mencuat seperti rangka payung.
Wiechert kembali
masuk. “Aku mencari gembok.”
Pelayan memberi
tahu supaya ia naik ke lantai dua. Bagian perkakas rumah tangga.
“Aku mencari
gembok,” kata Wiechert lagi di lantai dua.
Seorang
laki-laki muda, ditindik di antara bibir bagian bawah dan dagu, rambut dicat
merah, memberi tanda supaya Wiechert mengikutinya. Ia menunjuk deret
bermacam-macam gembok di etalase.
“Aku mencari
perlindungan ganda.” Mata Wiechert menelusuri satu demi satu gembok yang ada.
Pemuda itu
menunjuk salah satu gembok.
“Bukan yang
berwarna kuning. Kurang keamanannya.”
Pelayan itu
mengeluarkan sebuah gembok berwarna perak. “H.S.G.. Extra plus.”
Wiechert
menimang-nimang. “Apa kepanjangan H.S.G.?“
“Kuncinya tidak
bisa dilepas bila tidak dalam posisi menutup.” Itu bukan jawaban atas H.S.G.
Pelayan itu hanya menyebutkan kelebihan barang yang dijualnya. Kemudian ia
mendemonstrasikan cara membuka dan menutup; memasukkan kunci, memutar, posisi
gembok terbuka, kunci ditarik namun tidak bisa, baru ketika posisi gembok
kembali ditutup kunci berhasil dicabut.
“Seperti hati
dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk menyambutnya. Bila tidak,
hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengucapkan satu
kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.
“Ja, ja.”
Pelayan itu tiba-tiba menyahut tertarik. “Anda penulis?”
Wiechert
menggeleng. “Hanya mengoceh.”
“Tapi kalimat
Anda bagus.”
“Berapa
harganya?”
“Hanya ada satu
kunci untuk satu gembok.” Pelayan itu masih bertahan. “Apa artinya?”
Wiechert
memeriksa sisa rokok. Sudah hampir habis. Ia menjatuhkan puntung dan
menginjaknya gepeng. “Bila bukan kunci yang tepat, gembok tidak akan mau
dibuka. Bila bukan cinta yang tepat, hati tak akan hendak terbuka.”
Mendengar
penjelasan Wiechert, mata pelayan itu berbinar-binar. Wiechert memeriksa
tindikan dan warna rambut dan tato yang terlihat sedikit ujungnya dari balik
kemeja kerja. “Kau suka membaca cerita cinta.”
“Jörg.” Pelayan
itu memperkenalkan diri lalu merendahkan volume suara. “Aku membaca roman
popular. Tema cinta-cintaan selalu menarik perhatianku. Penulis favoritku:
Helga Brunner, Hilde Anselm, Wiechert Völler—atau Völler Wiechert, aku lupa
tepatnya. Seandainya aku bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.” Jörg
berhenti sebentar. “Tidak ada yang bisa aku ajak bicara mengenai roman cinta-cintaan
di sini.”
“Aku kira teman
perempuanmu banyak.”
“Tidak dengan
penampilan seperti ini.”
“Kau punya
dudukan gembok? Apa istilahnya—tempat untuk mengaitkan gembok saat pintu sudah
ditutup?”
Jörg bergeser
ke samping. Memilih yang sewarna dan menyerahkan pada Wiechert.
“Berapa
harganya?”
“Aku senang
bertemu Anda. Menemukan teman mengobrol yang tepat seperti gembok dengan kunci
yang tepat.”
Wiechert
merogoh saku jubah. Saku kanan. Saku kiri. Mencari uang.
Jörg kembali
merendahkan suara. “Anda tidak perlu membayar. Anggap ini hadiah dariku.”
“Tidak bisa
begitu.”
“Tunggu di
sini.” Jörg membawa pergi gembok, kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan
sedikit pada temannya yang bertugas di belakang meja kasir. Wiechert
mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya terkilir atau apalah, ia tidak
boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu membayar belanjaan.
Pelayan
laki-laki itu kembali dengan menyerahkan belanjaan Wiechert.
“Kau
berlebihan.”
“Aku tidak
apa-apa. Sungguh.” Lalu, lanjutnya, “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila
Anda kemari lagi untuk berbelanja, mampir ke lantai dua.”
Wiechert
mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ia segera memasang dudukan dan
mencoba menutup dan membuka untuk memeriksa apakah sudah terpasang baik. Pintu
Otto Baumer sudah dipasangi gembok ukuran sangat besar. Laki-laki tua gemuk itu
sekarang sedang jongkok membetulkan engsel yang rusak.
“Mencegah jauh
lebih baik ketimbang kemalingan.”
“Ja, Herr.”
Suara Wiechert mengandung nada simpati.
“Aku membeli
gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan mantap.”
Otto Baumer kembali pada pekerjaannya. “Sebaiknya kau membeli yang model
begitu.”
Wiechert hendak
masuk ketika Otto Baumer menyusulkan kalimat berikutnya dengan buru-buru. “Ini
pengalaman kurang menyenangkan untukmu yang baru pindah ke sini. Tapi, seperti
kata pemilik gedung; setelah puluhan tahun ini yang pertama.”
“Semoga harimu
menyenangkan.”
Wiechert
merebus air. Sembari menunggu ia kembali menyulut rokok. Mengingat Jörg. Tidak
menyangka pemuda itu akan bersungguh-sungguh mau membayari belanjaan. Lumayan.
Uang yang tidak jadi keluar bisa ia belikan setok kopi atau rokok untuk hari
berikutnya.
Peluit ceret
berbunyi nyaring. Wiechert menyeduh kopi dan membawanya ke ruang kerja.
Teringat Jörg,
warna biru seragam, tindikan, rambut dicat merah, obrolan cinta teranalogi
kunci dan gembok membuat Wiechert menemukan ide baru. Wiechert akan menjadikan
karakter unik Jörg sebagai tokoh utama yang jatuh cinta pada seorang pelanggan
bulimia. Ini akan jadi cerita roman yang tidak biasa. Semoga kali ini ia mampu
menyelesaikan tulisan. Kalau macet, ia akan kembali ke toko kelontong untuk
mengobrol mengorek ide.Wiechert menyedot rokok sekali lagi. Suara mesin
ketiknya mulai berdentam-dentam. (*)
Desi
Puspitasari, adalah novelis dan cerpenis. Novelnya The Strawberry
Surprise diadaptasi ke layar lebar pada 2014. Lahir di Madiun 7 November
1983. Ia bermukim di Yogyakarta. Novelnya yang akan terbit berjudul Kris
& Silvana.
Analisis Cerpen Gembok
A.
Tema
Cerita
“Gembok” bercerita tentang kejadian pencurian disebuah apartemen yang
menghebohkan semua penghuni. Kejadian tersebut membuat panik para penghuni
apartemen karena baru pertama kali itu terjadi. Mereka membeli kunci cadangan
(gembok) untuk menguci pintu. Seorang
penghuni apartemen yang bernama Wiechert membeli gembok ke Jörg. Disaat membeli
gembok Wiechert tidak perlu membayar dikarenakan pelayan toko kagum dengan
kata-kata yang diucapkan oleh Wiechert.
Berdasarkan
pendapat saya di atas, saya membuat kesimpulan bahwasannya cerita pendek di
atas memiliki dua tema: Pertama, “perbuatan kejahatan itu terjadi karena adanya
kesempatan dan peluang” alasan saya memilih tema ini adalah karena cerpen di
atas menceritakan bahwa pencurian itu terjadi karena pemilik apartemen sedang
keluar. Dan pencuri tersebut sudah mengetahui kebiasaan dari penghuni
apartemen. Bukti kutipan dari tema pertama ini adalah: “Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli
teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak,
keadaan bagian dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari
terbuka. Pakaian berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga
hilang.” Tema kedua, “cinta akan membuat kita rela melakukan apapun” alasan
saya ditema kedua ini adalah karena pelayan yang membelikan gembok ke Wiechert
dengan cuma-cuma setelah mereka berbincang. Bukti dari tema kedua adalah: “Tunggu di sini.” Jörg membawa pergi gembok,
kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan sedikit pada temannya yang bertugas
di belakang meja kasir. Wiechert mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya
terkilir atau apalah, ia tidak boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu
membayar belanjaan.”
B. Alur
Alur dalam
cerpen Gembok di atas menggunakan alur maju. Karena jalan cerita yang disusun
berdasarkan urutan waktu dan urutan peristiwa secaraca berurutan. Dibuktikan
dengan peristiwa pencurian yang terjadi pada pukul lima pagi dan kemudian ada
tokoh dalam cerita yang melakukan sarapan (yang menunjukkan hari sudah pagi)
dengan kutipan sebagai beriku “Pada pukul
lima pagi................. Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti
dan susu kardus dan sebungkus rokok. Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan
minum susu sendirian. Butuh beberapa menit menunggu sarapannya.........”.
C. Latar
1.
Latar Tempat: peristiwa di
cerpen Gembok terjadi pada sebuah apartemen dan toko makanan dengan kutipan
sebagai berikut: “Puluhan tahun
menyewakan apartemen, ini yang pertama.” Dan “Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan
sebungkus rokok.”
2.
Latar Waktu: kejadian tersebut
terjadi pada dini hari, dengan kutipan sebagai berikut: “Pada pukul lima pagi. Nekat sekali.”
3.
Latar Suasana: suasana yang
terjadi yaitu menyedihkan karena terjadi pencurian “Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli
teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak,
keadaan bagian dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari
terbuka. Pakaian berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga
hilang.”
D. Penokohan
Dalam cerpen
Gembok terdapat beberapa tokoh:
1)
Otto Baume adalah korban
pencurian. Dalam tersebut Otto Baume digambarkan sebagai orang yang tidak mudah
menerima suatu keadaan yang merugikan, dengan kutipan sebagai berikut “.........ia berkeluh kesah dengan keras;
bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja dibobol maling”
dan Otto Baume itu juga digambarkan sebagai orang yang mudah belajar dari
pengalaman, karena setelah kejadian pencurian dia langsung memasang kunci ganda
di pintunya. “Pintu Otto Baumer sudah
dipasangi gembok ukuran sangat besar.”
2)
Wiechert adalah tokoh utama
dalam cerpen Gembok ini. Dia digambarkan sebagai orang yang simpel dan jorok,
dengan kutipan sebagai berikut “Wiechert
menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih sisa kopi semalam. Ia
memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik dengan sehelai kertas
berisi separuh tulisan teronggok diam.” Dan dia juga termasuk orang yang
pandai merangkai kata-kata romantis karena dia adalah seorang penulis yang hobi
begadang, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut, “Seperti hati dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk
menyambutnya. Bila tidak, hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa
tiba-tiba ia mengucapkan satu kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.
3)
Jörg adalah seorang pelayan di
toko gembok. Dia juga seorang yang memiliki hobi membaca dan dia juga memiliki
sifat yang mudah berteman dengan orang yang baru dia kenal. Seperti yang
terdapat dalam kutipan “.........aku
hanya sedang membantu membayar belanjaan.” Dan “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila Anda kemari lagi untuk
berbelanja, mampir ke lantai dua.”
E. Sudut
Pandang
Dalam cerpen
yang berjuduj Gembok di atas menggunakan sudut pandang orang ketiga karena
dalam cerpen tersebut pengarang menuturkan tokoh atau pelaku utamanya dengan
menyebutkan nama yang seakan-akan pengarang tidak berada dalam cerpen tersebut.
Seperti kutipan “FRAU Wiechert?” dan “Otto Baumer, tetangga sebelah,...”
F. Amanat
Dari cerpen
Gembok kita dapat mengambil beberapa amanat:
1)
Kita harus tetap waspada,
karena kejahatan itu selalu mengincar kita dan akan beraksi bila ada
kesempatan. Kejadian pencurian di cerpen Gembok trjadi ketika pemilik aparten
tidak berada di rumah, dari kutipan “Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di
toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka,
dicongkel, engselnya rusak, keadaan bagian dalam rumah berantakan.
2)
Pengalaman adalah guru bagi
kita. Dari kejadian pencurian semua penghuni berinisiatif untuk membeli kunci ganda
untuk pintu mereka, dari kutipan berikut “Aku
membeli gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan
mantap.”
Wah, terima kasih analisis untuk cerpen "Gembok" yang dimuat di Media Indonesianya. Senang bisa membaca uraian kamu, Rahmad.
BalasHapusSalam. :)
iya,, silahkan berikan kritik dan sarannya. agar kami terus dapat berkarya
BalasHapussalam
assiiiiiiiiiiik
BalasHapusKalo boleh tau ini cerpen karya siapa ya?cerpen dari jerman kn?
BalasHapus