Cerita dari Sidoharjo, Si Medok



Si Medok Sidoharjo

Fikri Fahri Sani. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Trunojoyo Madura. Manusia yang satu ini berasal dari Sidoharjo. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Fikri, dan ada juga yang memanggilnya Plangton. Tetapi sapaan akrap saya biasa memanggilnya “Jo”. Orangnya bertubuh tinggi dan agak kurus. Dia jarang sekali memotong rambutnya, mungkin satu tahun sekali atau bahkan sesuka hatinya. Sampai sekarang rambutnya sudah panjang. Jika ada perkuliahan dia selalu mengikat rambutnya biar terlihat lebih rapi.
Dari beberapa semester ini saya mengenal beberapa karakter teman-teman di kelas saya, termasuk Fikri. Fikri adalah Seseorang yang memiliki pendirian kuat. Bisa dikatakan tidak mudah untuk mengalah. Fikri ini termasuk orang yang teguh pendirian. Ketika dia berkata A,
dia akan berusaha mempertahankan pendapatnya itu. Walaupun dengan suara yang lantang dan agak membentak-bentak. Hal yang paling membuat saya hanya tersenyum adalah saat dia salah dalam berpendapat tetapi tetap mempertahankan pendapatnya itu. Setelah diklarifikasi dia hanya tersenyum saja.
Pertemuan pertama kali saya dengan fikri ketika itu di Gedung Cakra. Pada waktu tes kesehatan masuk Universitas Trunojoyo Madura. Karena kami satu jurusan maka untuk tes kesehatan pada hari yang sama juga. Saya dulu tidak langsung berkenalan dengan fikri karena kami satu jurusan. Akan tetapi saya dikenalkan oleh orang Jawa Barat -yang sekarang saya lupa namanya- sebut saja namanya Si Kenal. Saat itu saya lagi santai duduk di tribun gedung cakra bersama Si Kenal (mahasiswa yang mengenalkan saya dengan Fikri). Lagi asik ngobrol ngalor ngidul dengan Si Kenal datanglah Fikri dari utara. Tanpa ada rambu-rambu langsung Si Kenal mengenalkan saya dengan Fikri. “ini loh, jurusannya sama dengan kamu” ucap Si Kenal kepadaku. Saya dan Fikri langsung berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing “Darmajat, dari lamongan” ucapku. “Fikri, dari sidoharjo” ucapnya. Kami sama-sama bersikap cuek saja. Kami bertemu hanya sekejap saja, seperti angin yang pergi setelah menggugurkan daun.
Lama tidak pernah berjumpa dia lagi. Walaupun dalam suasana ospek Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PARODI I) yang mengakrapkan beberapa mahasiswa. Saya juga tidak bertemu dia. Mungkin karena saya telah lupa dengan wajahnya. Berlanjut lagi saat perkenalan disaat perkuliahan pertaman dengan dosen wali Ibu Khusnul Khotimah. Saya dapat melihatnya lagi. Dia sudah sapa akrap dengan orang lain. Hari ini adalah perkenalan kami kelas C dengan wali dosen. Dan beliau ingin mengenal kami satu persatu. Mulailah kami berkenalan. Mulai dengan menyebutkan nama panjang, nama panggilan, asal sekolah, dan daerah asal. Saat perkenalan itu sampai Fikri mulailah kami semua satu kelas tertawa dan senyum-senyum menahan tertawa. Mendengar suara Fikri yang medok jawa sidoharjo. Sampai-sampai Ibu Khusnul pun ikut tertawa. Dari itu saya dapat melihat wajahnya kembali. Dari itu semua kami dapat mengenalnya lebih akrab lagi. Dengan adanya tugas yang membuat kami menjadi satu kelompok.
Fikri ini adalah tipekal pria yang setia. Dengan godaan yang menggiyurkan tampa pernah menengok rumput tetangga, bahkan seperti es creame yang tidak meleleh terkena sinar matahari. Dia tetap memilih kekasihnya yang berada di kampung halaman. Yuanita namanya. Seorang gadis yang sudah menemaninya semasa SMA hingga sekarang.
Saya mengenal Fikri bukan hanya di kelas saja. Tetapi kami juga satu organisasi. Teater Sabit namanya. Ada kejadian yang menurut saya lucu. Ketika itu di pagi yang cerah. Saat ada kegiatan di UKM-F Teater Sabit. Fikri belum bangun tidur. Saat dibangunkan dia bangun dan tidur lagi. Saat dibangunkan lagi dan dia tetap tidur lagi. Sama halnya dengan lagu almarhum Mbah Surip yang judulnya “Bangun tidur Tidur Lagi”. Kemudian ada teman yang membangunkan dengan cara yang menurut saya aneh dan unik. Dengan langsung diberdirikan. hahhaha... semuanya tertawa melihat ekspresi Fikir yang kebingungan. Bangun tidur dengan keadaan berdiri.
Saat kami berada di Sekret dan sedang menghibur diri. Fikri dengan gitar yang ada, selalu memainkan beberapa lagu yang hanya dirinya saja yang hafal. Kami hanya menjadi pendengar. Disaat kami mulai bosan dengan lagunya. Kami mengejeknya dengan hangat “yaa… nyanyi lagune dewe!” padahal sebenarnya itu lagu orang lain, karena kami tidak mengerti lagunya maka say ejek seperti itu. Akan tetapi anehnya. Setiap “lagu sendirinya” itu dinyanyikan maka lagu itu akan menjadi lagu yang kami tunggu untuk dinyanyikan lagi. Karena kegigihan Fikri menyanyikannya maka lagu itu menjadi lagu kami semua.
Inilah hal sebagian yang dapat saya ceritakan dengan Fikri. Inilah Fikri yang tidak pernah memilih-milih teman. Inilah Fikri yang tampil apa adanya. Inilah Fikri dengan kemandiriannya yang belum dapat saya singgung. Dan Inila Fikri Fahri Sani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Cerpen 'Gembok' kompas

Analisis Wacana: Analisis Kohesi dan Koherensi pada Artikel Jawa Pos Berjudul “Larang LKS dan Guru Buka Jasa Les”

Mengenal Wewehan saat Pandemi Koronavirus